Sejarah Kepengasuhan K.H Syuja’i Masduqi

Sejarah Kepengasuhan K.H Syuja’i Masduqi

K.H Syuja’i Masduqi (1978-2013)

Kiai Salimi menjabat sebagai pimpinan Assalafiyyah hingga tahun 1978. Setelah itu, kepemimpinan Assalafiyyah dipegang oleh putra satu-satunya Kiai Masduqi yaitu Kiai Syuja’i. Dalam mengelola dan memimpin pondok, urusan dalam pondok juga dibantu oleh menantu beliau yaitu Kiai Hasan Abdullah, terutama sejak tahun 1991. Pada akhir periode ini, tepatnya tahun 2003, putra tertua Kiai Syujai yaitu Kiai Noor Hamid Majid juga turut membantu seiring kepulangan beliau dari pondok Lirboyo, Kediri. 

Pada awalnya, Kiai Syuja’i yang juga merupakan lulusan Tegalrejo masih meneruskan sistem pendidikan sebelumnya yaitu dengan model Tegalrejo. Selang beberapa waktu, sebelum meninggalnya Kiai Masduqi, santri Assalafiyyah mulai ada yang mengenyam pendidikan di bangku pendidikan tinggi (universitas). Selain itu, ada juga para mahasiswa yang datang ke Yogyakarta untuk kuliah sekaligus mondok. Alhasil, santri Assalafiyyah kala itu mulai banyak yang menjadi mahasiswa. Jumlah tersebut semakin meningkat pada tahun berikutnya. 

Kegiatan para santri yang juga terikat dengan sistem yang ada di universitas, membuat waktu mereka untuk belajar ilmu agama semakin sempit. Pendidikan secara tarbiyah yang perlahan-lahan dan harus ditempuh dalam waktu satu tahun, tidak lagi bisa efisien untuk memenuhi kebutuhan santri yang juga memiliki kewajiban di luar pondok. Hal ini disebabkan karena para santri yang sudah belajar ilmu tertentu, mau tidak mau harus belajar lagi mengingat ilmu tersebut telah terpaket dalam satu jenjang kelas. Gambarannya, misalnya seorang santri yang sudah belajar fath al-qarib dan belum belajar shorof. Berhubung di Assalafiyyah kedua pelajaran tersebut digabung dalam satu jenjang kelas, mau tidak mau santri tersebut harus mengikuti pelajaran fath al-qarib lagi

Selain ketidaksesuaian sistem kelas, pendidikan yang diperoleh santri di universitas menjadikan pola pikir santri sedikit berubah. Jika pada masa sebelumnya, santri cukup diterangkan dan diberi dalil, pada masa ini dalil-dalil tersebut juga membutuhkan penjelasan yang sistematis disertai dengan alasan. Para santri membutuhkan alasan untuk memahami, dan kelak menyampaikan pengetahuan agama tersebut agar bisa diterima nalar. Kebutuhan ini bukan hanya dilihat dari sudut pandang santri, melainkan juga masyarakat. Pada masa-masa tersebut, masyarakat juga tidak cukup diberitahu melalui teladan seorang kiai dan beberapa dalil, melainkan juga membutuhkan alasan logis dari ajaran-ajaran agama.

Melihat kondisi internal dan eksternal tersebut, pada tahun 1985 sistem pendidikan di Assalafiyyah diganti menjadi sistem SKS. Sistem ini meniru sistem yang diterapkan di perguruan tinggi. Artinya, pelajaran-pelajaran yang disediakan pondok bisa dipilih sesuai dengan kebutuhan santri. Santri yang lulus pada pelajaran ‘imrithi, misalnya, dan belum lulus pelajaran fath almu’in, bisa menaikkan tingkat pelajarannya hanya dalam kitab ‘imrithi saja, tanpa mengulang kitab yang lain. Sistem ini sekilas mirip dengan sistem yang berlaku sebelumnya di periode Kiai Masduqi. Bedanya, pada masa ini, kitab-kitab yang akan dipelajari sudah tersusun sesuai dengan tingkat kesulitannya. Jadi, para qori’ tidak bisa lagi memilih kitab yang akan mereka bacakan melainkan harus sesuai dengan apa yang ditugaskan oleh pondok. Selain itu, para santri dalam memilih pelajaran yang akan diikuti juga harus sesuai dengan urutan yang telah disediakan. Seorang santri yang belum lulus ‘imrithi, misalnya, belum bisa mengambil mata pelajaran Alfiyah ibn Malik.

Selain terdapat pembaruan dalam sistem pendidikan, pelajaran yang diberikan juga mulai beragam. Terdapat tambahan pelajaran seperti qawa’id al-fiqh, ushul al-fiqh dan balaghah. Kitab kitab yang dipelajari juga tidak hanya model kitab tradisional, melainkan juga mulai ditambahkan dengan menggunakan metode baru yaitu Manhaji. Dalam mempelajari kitab-kitab baru tersebut, juga digunakan sistem pengajaran yang lebih modern yaitu pengkajian untuk pemahaman kitab, pencarian dasar dalil, hingga ke kritik beberapa pendapat yang terdapat dalam sebuah kitab. Semua model pembelajaran tersebut, dilakukan dengan sistem musyawarah. Dengan dilakukannya model pembelajaran seperti disebut diatas, akan diperoleh pemahaman yang lebih mendalam dan komprehensif sehingga para santri direncanakan akan siap untuk menghadapi masyarakat.

Sistem pendidikan yang diterapkan pada periode ini nampaknya cukup efektif menjawab kebutuhan para santri. Pada periode ini terjadi peningkatan jumlah santri yang masuk ke Assalafiyyah. Dibanding masa sebelumnya, rentang waktu dari tahun 1983 atau dua tahun setelah meninggalnya Kiai Masduqi hingga tahun 2002, jumlah santri yang mendaftar di Assalaffiyyah mengalami peningkatan. Tentu selain perubahan sistem pendidikan mungkin juga terdapat faktor lain yang bisa dijadikan alasan meningkatnya jumlah santri yang mendaftar di Assalafiyyah. 

Selain mengubah sistem, pada periode ini juga terjadi pembangunan pondok putri pada tahun 1982. Pada awalnya, ide pendirian pondok putri tercetus karena pada tahun tersebut terdapat beberapa calon santriwati yang menginginkan menimba ilmu di Assalafiyyah. Merasa bahwa keinginan tersebut harus dilayani, akhirnya Kiai Syuja’i memutuskan untuk menerima mereka menjadi santriwati beliau. Datangnya santri putri tentu membuat Kiai Syuja’i bingung untuk mencari tempat mereka tidur. Bekas kandang ayam Kiai Masduqi lah yang terpaksa disulap menjadi kamar santri. Bangunan bertembok dengan ukuran 2×3 meter tersebut, kemudian dibersihkan dan diplester agar layak ditempati oleh para santri putri.

Selang beberapa tahun, kamar bekas kandang ayam Kiai Masduqi tidak bisa lagi menampung santri putri yang datang semakin banyak. Dua tahun setelah pertama kali didirikan, jumlah santri putri meningkat tajam dari yang awalnya hanya lima dan kemudian tahun berikutnya enam santri, pada tahun 1984 terdapat 26 santri yang mendaftar. Melihat kondisi tersebut, Kiai Syuja’i memutuskan untuk mendirikan bangunan pondok putri di atas tanah bekas kebun jeruk milik istri beliau, Nyai Nasi’ah. Dalam pembangunan tersebut, terdapat peran yang berarti dari seorang warga Dadapan bernama Bapak Taslim yang telah menyumbangkan lebih dari 8000 batu bata dan sejumlah uang.

Terdapat cerita menarik tentang tanah yang digunakan untuk bangunan pondok putri tersebut. Seperti disebut di atas, tanah bangunan Assalafiyyah pada masa Kiai Masduqi sebenarnya masih sempit. Baru pada masa akhir hidup beliau, menantunya, Nyai Nasi’ah mengutarakan bahwa dirinya akan membeli tanah di selatan rumah Kiai Masduqi. Tanah tersebut awalnya adalah kebun jeruk yang terkenal angker. Meskipun demikian, entah mengapa tanah tersebut dijual dengan harga sangat tinggi. Jika dibandingkan dengan harga tanah sawah, tanah kebun jeruk tersebut bisa tiga kali lipat (3:1). Mengetahui harga tanah yang mahal, Nyai Nasi’ah meminta izin kepada Kiai Masduqi untuk menawarnya. Namun, rencana menawar harga tanah tersebut oleh Kiai Masduqi dilarang keras. Kata beliau, “Aja! Kui tanah suwargo.” Larangan Kiai Masduqi ini ternyata baru bisa dipahami beberapa tahun setelahnya ketika tepat di atas tanah kebun jeruk tersebut dibangun asrama pondok putri Assalafiyyah sebagai bentuk amal jariyah Nyai Nasi’ah.

Seiring kepulangan Nyai Daviniatul Ulum dan setelah pernikahannya dengan Kiai Chasan, pada tahun 1993 di Assalafiyyah mulai diadakan program tahfidz al-Quran. Program yang awalnya diikuti oleh para santri putri tersebut beberapa tahun kemudian juga diikuti oleh santri putra yang juga menyetor hafalan kepada Nyai Davin. Para santri putra berhenti menyetor hafalan mereka kepada Nyai Davin baru dilakukan setelah kepulangan Kiai Noor Hamid Majid yang juga sebagai hafidz al-Quran. Hingga saat ini, program tahfidz al-Quran masih berlangsung di Assalafiyyah dengan Nyai Davin sebagai tempat setoran para santri putri dan Kiai Noor Hamid sebagai tempat menyetor hafalan santri putra. 

Share this post