Sejarah Kepengasuhan Kiai Masduqi bin Zaed
Pengurus2023-09-20T01:28:30+07:00Kiai Masduqi bin Zaed (1932-1966)
Pembagian pertama adalah periode awal yaitu mulai dari tahun 1932 hingga tahun 1966. Dibanding dengan pengajian yang dilakukan Kiai Masduqi di rumah mertuanya, pada periode ini pengajian ditambah dengan pelajaran ilmu alat. Nampaknya tambahan pelajaran ini dilakukan oleh Kiai Masduqi karena beliau berfikir bahwa semenjak kedatangan santri dari luar Mlangi, perlu kiranya para santri tersebut diajarkan tentang ilmu membaca kitab. Namun demikian, meskipun bidang ilmu yang diajarkan bertambah, sistem pendidikan yang berlaku masih sangat sederhana yaitu bandongan dan sorogan. Bandongan adalah sistem pendidikan yang menggunakan metode dimana seorang Kiai membacakan kitab dengan makna gandul utawi iki iku ala pesantren tradisional Jawa sementara para santri mendengarkan dan memaknai kitabnya. Sistem ini bukanlah termasuk pedagogi yang pasif, melainkan aktif dialogis, sebab para Kiai biasanya mempersilahkan para santri yang belum paham untuk bertanya kemudian Kiai menjawab. Sedangkan sorogan adalah sistem pendidikan dimana para santri membaca kitab dihadapan Kiai. Jika ada bacaan yang salah, maka Kiai akan meluruskannya.
Pada periode ini, belum dikenal pengajian kelas. Para santri yang mengaji hanya memilih guru mana yang membacakan kitab. Setelah selesai dari satu guru, maka santri tersebut pindah ke guru lain yang mengkaji kitab berbeda. Jika tidak demikian, sang gurulah yang akan mengubah kitab yang ia bacakan setelah menyelesaikan satu kitab. Jadi, tingkat pengajian seorang santri berpatokan pada jenjang kitab dalam sebuah bidang ilmu (fan).
Pada masa ini, dilihat dari pengajarnya, pengajian bisa dibagi menjadi dua yaitu mengaji kepada Kiai Masduqi langsung dan mengaji kepada para santri senior. Pengajian dengan Kiai Masduqi biasanya hanya pada jam-jam tertentu yang berbeda disetiap generasi. Pada tahun 1950-an, misalnya, pengajian Kiai Masduqi yang umum dilaksanakan pada bakda isya’. Selain isya’, beberapa santri yang kuat untuk melek bengi juga mengaji kepada Kiai Masduqi pada setengah akhir malam. Kitab-kitab yang diajarkan pada masa Kiai Masduqi pun cukup beragam, meskipun tidak selengkap pada masa-masa setelahnya. Pada tahun-tahun tersebut, sudah ada pengajian tafsir al-jalalain, fath al-mu’in dan alfiyah ibn malik.
Jangan bayangkan luas tanah dan bangunan pondok sama seperti kondisi sekarang. Pada awalanya, bangunan pondok hanya terdiri dari 6 kamar yang terbuat dari gedhek (anyaman bambu), sama seperti rumah Kiai Masduqi sendiri. Tanah pondokpun hanya sedikit, kira-kira bagian ndalem Gus Nur hingga ke gedung utara serta bagian musholla hingga ke jalan. Suatu ketika, Kiai Mufid Mas’ud pernah berkomentar mengenai sempitnya pondok Kiai Masduqi, “Bumine Rama Kiai Masduqi niku sempit, tapi manfaat.”