Kiai Salimi Mamba’ul Ulum – Perubahan Sistem Pendidikan Diniyah Assalafiyyah
Pengurus2023-09-20T01:28:23+07:00Kiai Salimi Mamba’ul Ulum (1966-1978)
Periode selanjutnya berlangsung selama 12 tahun yaitu antara tahun 1966 hingga tahun 1978. Pada periode ini, kepemimpinan Pondok Pesantren Assalafiyyah dipegang oleh salah satu menantu Kiai Masduqi yaitu Kiai Salimi Mambaul Ulum. Beliau adalah lulusan dari Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang. Mendapat amanah sebagai pemimpin pondok, Kiai Salimi lantas mengubah kurikulum yang berlaku di pondok menjadi lebih tertata. Hal ini nampaknya beliau lakukan mengingat pondok pesantren sudah dianggap sebagai tempat untuk mendidik para pengajar agama. Dengan demikian, perlu diadakan semacam penataan kurikulum agar ilmu-ilmu yang didapat oleh para santri lebih lengkap dan didapat secara bertahap.
Pada era kepemimpinan beliau, sistem kurikulum di Assalafiyyah disamakan dengan apa yang diterapkan di API Tegalrejo. Sama seperti di Tegalrejo, Pondok Pesantren Assalafiyyah mulai menggunakan sistem pendidikan yang membagi jenjang pendidikan menurut kelas. Kelas yang disediakan mencakup 9 kelas yang setiap jenjangnya harus ditempuh selama 1 tahun. Jadi, total lama belajar santri jika dimulai dari awal hingga lulus adalah 9 tahun. Secara berurutan kelas-kelas tersebut adalah Sifir (I’dad), Ibtida’, Jurumiyah, Shorof, Alfiyyah, Wahab, Mahalli, Bukhori dan terakhir adalah kelas Ihya’. Penataan sistem pendidikan yang baru ini membuat perubahan di Assalafiyyah. Dibanding periode sebelumnya terjadi peningkatan dalam jumlah santri yang mendaftar.
Penataan sistem pendidikan tersebut juga diiringi dengan penciptaan tradisi-tradisi baru yang juga terpengaruh dari Tegalrejo. Diantara tradisi tersebut adalah membaca Alqur’an setelah shalat maghrib dan dilanjutkan dengan mujahadah beberapa wiridan yang bersumber dari ijazah Kiai Chudhori, pendiri API Tegalrejo. Selain tradisi rutinan seperti wiridan, pada masa ini Assalafiyyah juga mulai mengadakan khataman akhir tahun di setiap tanggal 20 Sya’ban. Berbeda dengan zaman sebelumnya yang mengadakan khataman sangat sederhana, kali ini khataman pondok mulai dilakukan dengan mengundang tamu dan mendatangkan pembicara dari luar. Khataman pertama Assalafiyyah diadakan dengan mengundang Kiai Mufid, pendiri Pondok Pesantren Pandanaran. Ketika itu, Kiai Mufid masih tinggal di pondok mertuanya di Krapyak.
Khataman yang berarti penutupan adalah sebuah acara yang menjadi tradisi di pondok pesantren sebagai rasa syukur karena telah menyelesaikan pengajian selama satu tahun. Dalam istilah lain, khataman juga disebut imtihanan, yang memiliki arti ujian. Dinamakan imtihanan bukan berarti karena pada akhir tahun terdapat ujian untuk mengevaluasi hasil belajar santri. Imtihan di sini lebih tepat diartikan dengan ujian yang akan dihadapi santri ketika selesai belajar dan akan kembali ke masyarakat, apakah dia bisa mengamalkan ilmunya atau tidak.
Pada khataman pertama ini, Kiai Masduqi tidak memperbolehkan digunakannya sound system (speaker). Panitia tentunya bingung mengingat pengajian tersebut harus menggunakan speker agar bisa didengar oleh para undangan. Oleh karena itu, dengan terpaksa panitia tetap bersikukuh menggunakan speaker. Ketika pada sore hari menjelang magrib speaker dicoba, tiba-tiba speaker tersebut terbakar (kobong).17 Mengetahui hal tersebut, para santri tahu bahwa Kiai Masduqi memang tidak setuju dengan pemakaian speaker. Mungkin dalam hal ini beliau mengira speaker digunakan hanya untuk kemeriahan, dan itu bagi Kiai Masduqi termasuk melakukan perkara yang berlebihan.
Namun demikian, sekali lagi panitia bersikeras untuk tetap menggunakan speaker. Setelah rusak, panitia memperbaiki speaker tersebut dan baru menghidupkannya ketika Kiai Mufid mulai memberikan ceramahnya. Alhasil, ceramah Kiai Mufid jadi bisa terdengar oleh banyak orang. Setelah pengajian selesai, Kiai Salimi dipanggil oleh Kiai Masduqi, “Oh, ngono kui caramu nek ngakali ngaji. Yo, sesok ngundang Pak Mufid maneh,” kata beliau yang berarti memperbolehkan speaker. Izin ini tentu dengan catatan bahwa speaker tersebut hanya agar pengajian tersebut bisa lebih bermanfaat karena didengar orang banyak, bukan sekedar demi kemeriahan acara.
Masa-masa diadakannya pengajian dengan sistem yang tersusun dengan metode Tegalrejo ini beriringan dengan usia Kiai Masduqi yang sudah menginjak usia kepala tujuh (70 tahunan). Pada masa ini, Kiai Masduqi hanya mengajar sekali dalam sehari yaitu ba’da dzuhur. Kitab yang beliau ajarkan pun hanya dua yaitu sullam taufiq dan dlurar al-bahiyyah, dua kitab tipis yang mengkaji ilmu fikih. Jika satu kitab selesai dikaji, ganti kitab kedua. Begitu seterusnya diulang-ulang.